Yang Melintas

Saturday, February 10, 2007

Banjir Di Jakarta Dan Sekitarnya

Banjir besar kembali melanda Jakarta dan sekitarnya. Kabarnya 70% wilayah Jakarta terendam banjir. Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB) seperti dikutip Antara merilis data korban banjir di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten sampai dengan hari Jumat 9 Februari 2007 sebagai berikut:
- Jakarta: 48 orang tewas dan 210.404 orang mengungsi (hari sebelumnya 219.404 orang mengungsi);
- Jawa Barat: 19 orang tewas dan 240.813 orang mengungsi (hari sebelumnya 410.630 orang mengungsi);
- Banten: 13 orang tewas dan 135.555 orang mengungsi.
Mengenaskan! Dan seharusnya tidak perlu terjadi.

Banjir kali ini, yang disinyalir sebagai banjir 5 tahunan, tampak lebih parah dari banjir tahun 2002 yang lalu, baik dari luas area yang tergenang maupun dari ketinggian genangan. Beberapa lokasi yang tidak pernah tergenang sama sekali, kali ini merasakan hantaman banjir. Tinggi genangan pun dikabarkan lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi pada 5 tahun yang lalu. Jika dulu sepinggang atau sedada, kini seleher. Jika dulu tidak sampai atap, kini atap rumah pun terendam. Jika tidak ada tindakan yang diambil untuk mengatasi banjir, maka dengan trend seperti ini tampaknya banjir 5 tahun yang akan datang bisa jauh lebih parah lagi.

Sebenarnya banjir di Jakarta bukanlah barang baru. Ingatan pertama saya tentang banjir di Jakarta adalah pada tahun 1970-an, yaitu ketika Jl. Danau Toba di dekat RSAL dilanda banjir. Mungkin juga Jl. Bendungan Hilir termasuk RSAL waktu itu juga dilanda banjir, tapi saya kurang memperhatikan ini. Yang saya ingat, peristiwa ini diliput TVRI. Di layar kaca yang masih hitam-putih terlihat teman-teman yang tinggal di Jl. Danau Toba sedang bermain banjir! Tetapi kemudian sepertinya banjir di Jl. Danau Toba ini tidak terdengar lagi. Mungkin akibat normalisasi kali Krukut yang terletak di sebelah timur Jl. Bendungan Hilir.

Peristiwa banjir berikutnya adalah banjir setiap tahun di SMP Negeri 16 Jl. Palmerah Barat. Selama saya bersekolah di sana tahun 1974-1976 selalu saja ada hari-hari libur sekolah akibat banjir. Kebetulan sekolah ini tidak jauh dari kali Grogol. Setelah itu, rasanya saya tidak memperhatikan bencana banjir di Jakarta. (Maafkan atas ketidak-acuhan ini. Di SMA rasanya koq tidak ada teman yang mengalami bencana banjir. Kemudian, saya kuliah di Bandung; rasanya koq tidak terlalu perduli dengan Jakarta.)

Sampai pada banjir 2002. Waktu itu sempat terjebak macet; dari kantor di Jl. Prof. Dr. Satrio ke rumah di Bintaro memakan waktu 4 jam! Ternyata kali-kali dan saluran-saluran di Jabodetabek meluap menggenangi rumah-rumah di sekitarnya. Baru kali inilah terdengar bahwa banjir tahun 2002 ini adalah banjir 5 tahunan. Lha, bagaimana tahun 1997 dulu, koq rasanya tidak ada banjir seluas ini? Di tahun 1997 itu, yang terjadi adalah hujan deras berhari-hari dan tidak berhenti-henti. Pasti terjadi banjir, tetapi tidak seluas area banjir tahun 2002.

Mengapa terjadi banjir? Menurut logika, banjir terjadi karena:
1. Kondisi topografi yang relatif datar yang memperlambat aliran air terbuang ke laut.
2. Volume air hujan yang melimpas sangat tinggi, yang tidak bisa ditampung oleh sungai-sungai dan saluran.
3. Kemampuan sungai-sungai dan saluran yang rendah dalam menampung air hujan dan buangan.

Wilayah Jakarta dan sekitarnya yang dialiri banyak sungai dan relatif datar sangat berpotensi untuk terjadinya banjir. Kawasan terbangun yang meluas di wilayah Jabodetabek mengurangi volume air yang terserap ke tanah dan meningkatkan air limpasan ke badan air (sungai dan saluran). Di sisi lain, kemampuan sungai dan saluran dalam menampung air semakin berkurang akibat sedimentasi, pendangkalan, dan timbunan sampah. Sutopo Purwo Nugroho, pengurus Masyarakat Hidrologi Indonesia, seperti dikutip Kompas menyebutkan bahwa debit tampung 13 sungai dan kanal yang mengaliri Jakarta hanya 17,5-80 persen dari debit rencana sungai-sungai dan kanal tersebut. Padahal, debit banjir yang masuk justru naik 50% dari debit perhitungan Pola Induk 1973 periode 25 tahunan.

Mengapa kawasan terbangun di Jabodetabek meluas? Meluasnya kawasan terbangun adalah untuk menampung penduduk yang terus bertambah di wilayah ini. Wilayah Jabodetabek dengan luas 5.789,11 km2 atau 0,30% wilayah Indonesia pada saat ini menampung 22 juta jiwa atau 10% dari penduduk Indonesia! Jadi, betapa padatnya! Dan betapa beratnya beban yang harus ditampung alam Jabodetabek.

Untuk membatasi perkembangan penduduk Jakarta, Kota Jakarta pernah (atau sekarang masih?) dinyatakan sebagai kota tertutup. Berhasilkah? Mungkin berhasil dengan rendahnya laju pertumbuhan penduduk Jakarta yang sebesar 0,17% per tahun dalam kurun waktu 1990-2000. Dengan sangat mahalnya harga lahan di Kota Jakarta, pendatang dan pembeli rumah baru akan memilih hunian di wilayah Bodetabek yang harganya lebih terjangkau (itupun juga semakin mahal). Pendatang baru akan menyerbu wilayah Bodetabek dan mengakibatkan meluasnya kawasan terbangun Bodetabek. Tidak heran jika wilayah Bodetabek juga tidak luput dari serangan banjir.

Serbuan penduduk ke wilayah Jabodetabek adalah akibat investasi pembangunan yang sangat besar di wilayah ini yang sepertinya membuka kesempatan kerja yang lebih luas dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Telah lama didengang-dengungkan tentang kepincangan pembangunan antara wilayah barat dan timur Indonesia, antara Jawa dan luar Jawa, dan sesungguhnya juga antara Jabodetabek dan wilayah lain di Indonesia.

Beban wilayah Jabodetabek diharapkan dapat berkurang, jika daerah lain dapat menawarkan kesempatan kerja yang lebih menarik. Dibutuhkan kerja keras dan koordinasi dari berbagai instansi serta peran aktif Pemerintah Daerah untuk membuka kesempatan kerja di propinsi-propinsi lain di Indonesia sekaligus mempromosikannya. Sesuatu yang sangat mudah untuk ditulis tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan.

Bukannya berarti banjir di wilayah Jabodetabek akan dapat segera diatasi. Tetapi paling tidak, dengan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia, diharapkan disparitas pembangunan dapat berkurang dan beban wilayah Jabodetabek tidak terus bertambah. Untuk mengatasi banjir di wilayah Jabodetabek, tentu harus dilakukan upaya-upaya penanganan yang sangat serius, seperti pengerukan sungai, pengangkutan sampah dari sungai, dan sebagainya. (eh, kesempatan kerja lagi...)

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home