♫ .. Don't know much about geography.. ♪
Pada hari Senin, 17 April 2006, di Kompas halaman 6 dimuat tulisan Prof. Sri-Edi Swasono berjudul 'Kesadaran Geografi Kita'. Isinya menyatakan keprihatinan atas "malapetaka" bahwa mahasiswa semester ke-8 sebuah universitas terkemuka di Jakarta ternyata "buta" ilmu bumi Indonesia. Tidak ada yang tahu di mana Laut Sawu, Bima, Waingapu, Maumere, Ende, Larantuka, dan Rote. (Sejujurnya, saya hanya tahu Bima, Maumere, dan Ende karena kebetulan pernah dinas beberapa hari ke Maumere dan singgah di bandara Bima. Sedangkan Ende sama dengan Maumere, sama-sama terletak di Pulau Flores. Selebihnya, nama-nama itu pernah dengar, diperkirakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, tapi tidak tahu di mana tepatnya. *nyesel koq waktu ke Maumere gak sekalian ke Ende*)
Selanjutnya Sri-Edi Swasono bercerita membeli 8 peta (atlas). Dari peta sebanyak itu hanya satu yang memuat Pulau Miangas (di mana pula ini?) dan itupun salah tulis menjadi Pulau Miangsa. Yang memalukan adalah bahwa Pulau Miangas justru tertera di peta dinding di ruang kerja Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta. Rupanya Pulau Miangas (pulau paling utara di Indonesia?) terletak di sebelah utara Kepulauan Talaud. (Menyedihkan, rupanya saya pun termasuk kelompok yang buta ilmu bumi Indonesia dan dunia)
Kejadian ini di tengah Sri-Edi Swasono membaca buku Resource Wars (MT Klare, 2002), perang kekayaan alam. Jadi ingin tahu juga bagaimana isi buku ini. Bagaimana bisa mengenal sumberdaya alam Indonesia kalau tidak mengenal pulau-pulau dan perairannya?
Mahasiswa semester ke-8 ini mestinya rata-rata lulusan SMA tahun 2002. Mereka diperkirakan di SD, SMP, dan SMA sekitar tahun 1990-an. Kalau saya melakukan kilas-balik belajar ilmu bumi/geografi, yang benar-benar belajar tentang pulau ini dan pulau itu, hasil buminya apa saja dan sebagainya, adalah ketika kelas 4-6 SD. Kelas 3 SD belajar mengenai Jakarta (mungkin karena SD di Jakarta). Kelas 4 belajar mengenai Pulau Jawa. Kelas 5 mengenai Indonesia. Kelas 6 mengenai dunia, belajar negara-negara di benua lain. Pelajaran ilmu bumi SMP apa ya? Sudah lupa tuh. Mungkin karena banyak bolosnya (ABG yang temannya badung-badung, jadi kejadian deh ikutan bolos..) Sedangkan pelajaran geografi di SMA diisi dengan ilmu bumi falak, yaitu belajar tentang arus laut, tentang azimut dan nadir, tentang apalagi? waa lupa.. Singkat kata, pelajaran ilmu bumi yang benar-benar belajar tentang berbagai lokasi di bumi rasanya hanya diperoleh di SD, itupun hanya bersifat hafalan semata tanpa penghayatan. Mungkin para mahasiswa semester ke-8 ini juga mengalami nasib serupa, belajar ilmu bumi ketika SD dan sejak itu tidak disentuh-sentuh lagi, kecuali mungkin ke Bali atau tempat-tempat wisata lainnya.
Berbeda dengan Ayah saya. Beliau bercerita ketika jaman SD dulu (masih jaman Belanda) ada peta buta. Murid diminta berdiri di depan kelas dan menyebutkan dari kota X ke kota Y melewati kota-kota apa saja. Kalau habis liburan, murid harus menceritakan pengalaman liburannya di depan kelas, pergi ke mana saja, dalam bahasa Belanda. Tidak heran kalau murid-murid hasil pendidikan Belanda dulu jago ilmu bumi dan bahasa Belanda (dan bahasa-bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis yang juga diajarkan di jaman Belanda dulu).
Memang mutu pendidikan di Indonesia berangsur-angsur mundur. Di tengah derasnya arus informasi, di tengah mudahnya memperoleh informasi melalui internet dan berbagai media lainnya, di tengah kemudahan untuk belajar hampir apa saja, Bangsa Indonesia (sebagian besar) memilih mendapatkan informasi yang dangkal dan sensasional dan tidak memberikan nilai tambah. Perlu ada terobosan agar Bangsa Indonesia (termasuk saya) bisa rajin belajar, tekun, dan bisa bertindak taktis dan strategis sehingga bisa mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lain. ♪ Ayo belajar! ♫
Selanjutnya Sri-Edi Swasono bercerita membeli 8 peta (atlas). Dari peta sebanyak itu hanya satu yang memuat Pulau Miangas (di mana pula ini?) dan itupun salah tulis menjadi Pulau Miangsa. Yang memalukan adalah bahwa Pulau Miangas justru tertera di peta dinding di ruang kerja Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta. Rupanya Pulau Miangas (pulau paling utara di Indonesia?) terletak di sebelah utara Kepulauan Talaud. (Menyedihkan, rupanya saya pun termasuk kelompok yang buta ilmu bumi Indonesia dan dunia)
Kejadian ini di tengah Sri-Edi Swasono membaca buku Resource Wars (MT Klare, 2002), perang kekayaan alam. Jadi ingin tahu juga bagaimana isi buku ini. Bagaimana bisa mengenal sumberdaya alam Indonesia kalau tidak mengenal pulau-pulau dan perairannya?
Mahasiswa semester ke-8 ini mestinya rata-rata lulusan SMA tahun 2002. Mereka diperkirakan di SD, SMP, dan SMA sekitar tahun 1990-an. Kalau saya melakukan kilas-balik belajar ilmu bumi/geografi, yang benar-benar belajar tentang pulau ini dan pulau itu, hasil buminya apa saja dan sebagainya, adalah ketika kelas 4-6 SD. Kelas 3 SD belajar mengenai Jakarta (mungkin karena SD di Jakarta). Kelas 4 belajar mengenai Pulau Jawa. Kelas 5 mengenai Indonesia. Kelas 6 mengenai dunia, belajar negara-negara di benua lain. Pelajaran ilmu bumi SMP apa ya? Sudah lupa tuh. Mungkin karena banyak bolosnya (ABG yang temannya badung-badung, jadi kejadian deh ikutan bolos..) Sedangkan pelajaran geografi di SMA diisi dengan ilmu bumi falak, yaitu belajar tentang arus laut, tentang azimut dan nadir, tentang apalagi? waa lupa.. Singkat kata, pelajaran ilmu bumi yang benar-benar belajar tentang berbagai lokasi di bumi rasanya hanya diperoleh di SD, itupun hanya bersifat hafalan semata tanpa penghayatan. Mungkin para mahasiswa semester ke-8 ini juga mengalami nasib serupa, belajar ilmu bumi ketika SD dan sejak itu tidak disentuh-sentuh lagi, kecuali mungkin ke Bali atau tempat-tempat wisata lainnya.
Berbeda dengan Ayah saya. Beliau bercerita ketika jaman SD dulu (masih jaman Belanda) ada peta buta. Murid diminta berdiri di depan kelas dan menyebutkan dari kota X ke kota Y melewati kota-kota apa saja. Kalau habis liburan, murid harus menceritakan pengalaman liburannya di depan kelas, pergi ke mana saja, dalam bahasa Belanda. Tidak heran kalau murid-murid hasil pendidikan Belanda dulu jago ilmu bumi dan bahasa Belanda (dan bahasa-bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis yang juga diajarkan di jaman Belanda dulu).
Memang mutu pendidikan di Indonesia berangsur-angsur mundur. Di tengah derasnya arus informasi, di tengah mudahnya memperoleh informasi melalui internet dan berbagai media lainnya, di tengah kemudahan untuk belajar hampir apa saja, Bangsa Indonesia (sebagian besar) memilih mendapatkan informasi yang dangkal dan sensasional dan tidak memberikan nilai tambah. Perlu ada terobosan agar Bangsa Indonesia (termasuk saya) bisa rajin belajar, tekun, dan bisa bertindak taktis dan strategis sehingga bisa mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lain. ♪ Ayo belajar! ♫
0 Comments:
Post a Comment
<< Home