Yang Melintas

Wednesday, May 11, 2005

panggil aku Kartini saja

Kartini cover book
Menjelang hari Kartini, 21 April 2005 yang lalu, saya mulai membaca buku "panggil aku Kartini saja" yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Buku itu baru selesai dibaca kemarin, 10 Mei 2005. Wow, lamanya. Tapi untunglah selesai juga.

Setelah bertahun-tahun ada peringatan hari Kartini, setelah beberapa kali berkebaya ketika hari itu tiba (waktu masih kecil), beberapa kali juga saya berusaha mengenal Kartini, tetapi selalu gagal. Ketika SMP atau SMA, saya mencoba membaca "Habis Gelap Terbitlah Terang", tapi baru beberapa halaman sudah berhenti. Kemudian ketika kuliah, saya mencoba membaca (kalau tidak salah) "Surat-Surat Kartini" yang disusun oleh Sulastin Sutrisno. Ini pun gagal juga; baru beberapa halaman sudah berhenti. Nak, sekarang, kebetulan Endra punya buku "panggil aku Kartini saja". Dan momennya tepat sekali karena waktu itu menjelang peringatan hari Kartini. Hati ini jadi tergerak untuk membacanya.

Sebenarnya ini pun nyaris gagal juga. Awalnya, membaca buku ini bawaannya kok ngantuk ya. Tidak seperti membaca buku-buku Sidney Sheldon atau Agatha Christie atau penulis-penulis handal lainnya, yang memikat dari awal. Tidak juga seperti membaca buku-buku Pram lainnya, greget buku ini di awalnya sangat kurang. Tapi untunglah, makin lama dibaca, makin ingin tahu bagaimana sih Kartini di mata Pram (dalam analisa Pram).

Updated May 12, 2005 (5:45 PM):
Buku "panggil aku Kartini saja" yang terbit sekarang sebenarnya masih ada kelanjutannya tetapi naskah tersebut hilang di tahun 1965. Jadi apa yang terekam atau tergambarkan di sini mengenai Kartini hanya sebagian dari apa yang akan diungkapkan oleh Pram.

Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879. Beliau termasuk orang Indonesia yang beruntung pada zamannya. Karena kedudukan ayahnya, Kartini dapat mengenyam pendidikan formal di sekolah, meskipun hanya sampai tingkat dasar, karena setelah itu Kartini masuk dalam pingitan. Kartini sendiri sebenarnya ingin melanjutkan sekolah, bahkan kalau perlu ke negeri Belanda, tetapi sayang ayahnya tidak mengijinkan. Pada awal berdirinya sekolah-sekolah di Hindia Belanda, hanya anak-anak dari keluarga ningrat/bergelar saja yang bisa masuk sekolah. (THS, cikal bakalnya ITB, pun tidak terkecuali; mahasiswanya adalah siswa-siswa yang memiliki gelar, termasuk Soekarno yang memiliki gelar "Mas Raden", kalau tidak salah.)

Dalam masa pingitan, Kartini melakukan hal-hal yang disukainya seperti membatik, melukis, membaca, dan juga belajar bahasa Prancis. Ayahnya yang membuka kesempatan bagi Kartini dan saudari-saudarinya untuk melihat dunia luar (ke Batavia, mengunjungi kapal ... di pelabuhan, memberi bacaan) sekaligus mempunyai hak veto atas putri-putrinya yang berhak mengatakan "tidak" atas kehendak para putri ini.

Kartini pandai berbahasa Belanda, baik lisan maupun tulisan, dan sudah terkenal di kalangan orang Belanda dan Indonesia tentang bahasa Belandanya yang baik. Bahkan di masa hidupnya, surat-suratnya ingin diterbitkan oleh Mr. Abendanon(? lupa..), tetapi Kartini menolak. Beliau sadar bahwa seorang putri Jawa yang bisa berbahasa Belanda dengan baik adalah istimewa. Kartini tidak mau diistimewakan. Beliau merasa sebagai bagian dari rakyat dan memang beliau sendiri yang mengucapkan, "Panggil aku Kartini saja - itulah namaku". Pikiran Kartini berkisar pada rakyat, keseniannya, penyakitnya, pendidikannya, perempuannya, perlakuan yang diterima rakyat, dan lain-lain. Dan semua itu disampaikan dalam bahasa Belanda yang runut. Kartini juga pernah diminta untuk menulis di majalah.

Menulis menjadi jalan keluar bagi Kartini untuk mengeluarkan isi hati dan pikirannya. Andaikan Kartini hidup lebih lama lagi, tentu tulisan-tulisannya akan lebih banyak lagi. (Juga, andaikan di zaman Kartini sudah ada blog, mungkin beliau juga akan aktif nge-blog!!!...... (khayalan se-tinggi2-nya, se-indah2-nya,..))

Meskipun hanya berpendidikan SD, lingkup pemikiran Kartini meluas melampaui lingkungan kamar dan rumahnya. Sebagai salah satu orang yang terkemuka di zamannya, melalui surat-suratnya ke orang Belanda (dalam bahasa Belanda) Kartini menjadi corong kondisi rakyat Hindia Belanda. Sayang sekali, ayahnya yang bertindak sebagai pembuka gerbang kesempatan bagi Kartini untuk mengecap dunia luar adalah sekaligus penutup gerbang tersebut. Wikipedia menyebutkan Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang yang sudah memiliki tiga istri. Kartini wafat pada usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan putra pertamanya (September 1904).

0 Comments:

Post a Comment

<< Home