Yang Melintas

Friday, August 18, 2006

Pengelolaan Keuangan

Beberapa cerita yang saya dengar akhir-akhir ini semakin memperkuat keinginan untuk menulis tentang pentingnya pengelolaan keuangan. Cerita-cerita tersebut menyangkut orang-orang yang saya kenal maupun yang tidak, yaitu mengenai kesulitan keuangan yang tengah mereka hadapi.

Bukannya berarti saya tidak terkena atau sudah terbebas dari masalah keuangan. Saya (dan suami) kan termasuk ke dalam golongan menengah-bawah, yang hidup mengandalkan gaji suami, yang hanya pas untuk hidup sebulan ("..makanya pindah kuadran..", kata Kiyosaki). Bukannya saya ahli perencanaan keuangan handal yang bisa memberi advis bagaimana sebaiknya mengelola keuangan keluarga. Bukan, sama sekali bukan. Saya hanya tergelitik untuk menulis perlunya memiliki kemampuan pengelolaan keuangan ini.

Sama halnya dengan kemampuan yang lain, kemampuan pengelolaan keuangan sebaiknya juga ditanamkan dan diasah sejak kecil. Jadi ketika dewasa, kemampuan ini sudah menjadi inherent di dalam diri, langsung dapat dimanfaatkan dalam mengelola keuangan pribadi dan keluarga.

Jadi, apakah pengelolaan keuangan itu sehingga menjadi penting bagi kesejahteraan pribadi dan keluarga? Menurut pengetian saya (maaf kalau salah, namanya juga awam), pengelolaan keuangan adalah tindakan mengatur income dan asset untuk dimanfaatkan dengan sebijaksana mungkin bagi kesejahteraan pribadi dan keluarga (dan ahli warisnya).

Maksudnya begini: Dari asset dan income, kita harus menyiapkan bekal kita kelak, yaitu dengan mengeluarkan penghasilan di jalan-Nya dan beramal. Inilah sesungguhnya harta yang benar-benar kita miliki. Kita juga akan mempertanggungjawabkan perolehan seluruh asset dan income tersebut. Mudah-mudahan diperoleh secara halal.

Kemudian, kita juga harus mengatur keuangan dengan sebaik-baiknya untuk menutupi kebutuhan saat ini dan masa yang akan datang dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Atau dengan kata lain, memenuhi kebutuhan sekarang dan menciptakan asset. Jika berumur panjang, kita bisa menikmati jerih payah (asset) ini. Kalau tidak, maka ahli warislah yang akan memanfaatkannya. Agar sejahtera (atau paling tidak tercukupi kebutuhan) di masa tua, kita harus mempersiapkannya sejak masih muda. Sedia payung sebelum hujan lah. Oleh karena itu, pengeluaran uang sebaiknya dikelola dalam kerangka waktu tersebut (saat ini dan masa yang akan datang), yaitu pengeluaran saat ini dan cicilan untuk pengeluaran masa depan (dalam bentuk tabungan)

Kerangka waktu inilah yang menurut saya sering dilupakan orang (termasuk saya.., heheh..). Kita sering berdalih, "boro-boro untuk masa depan, untuk kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup kok". Ini benar untuk kelompok yang sangat miskin (sebagian besar penduduk Indonesia, ...%), yang memang penghasilannya tidak teratur dan tidak memenuhi kebutuhan dasar minimum (istilah "basic needs" masih laku tidak ya? ini kan istilah di tahun 1980-an dulu). Tetapi untuk kelompok menengah-bawah, yang masih bisa mencicipi sedikit kelezatan gaya hidup mewah, mestinya (dengar tuh: mestinya..) bisa menyisihkan untuk keperluannya nanti. Dan semakin awal (baca: semakin muda) kita menyisihkan (menabung), maka semakin baik hasilnya.

Penasihat keuangan di "Oprah Winfrey Show" mengistilahkan mencicipi kenikmatan gaya hidup berlebih ini dengan "latte factor". Contohnya ya ngopi di warung kopi, beli barang yang hanya dipakai sekali (atau malah tidak pernah dipakai sama sekali alias mubazir), penggunaan mobile-phone yang pulsanya lebih mahal, penggunaan TV-kabel (maaf pengusaha TV-kabel, ini yang saya dengar di OWS lho), dan lain-lain yang bisa diisi sendiri.

Terus terang acara itu menyentil saya juga karena banyak sekali latte-factor ini di komponen pengeluaran keluarga. Misalnya: buku dan majalah yang hanya ditumpuk dan tidak dibaca, peralatan rumah-tangga (baca: dapur) yang tidak pernah dipakai, makan di resto padahal pembantu di rumah sudah memasak, penggunaan mobile-phone padahal sekarang saya sering di rumah, dan sebagainya. Kalau saja latte factor tersebut dikurangi maka (teorinya) bisa disisihkan untuk tabungan.

Kemudian untuk pengeluaran tahunan yang biasanya jumlahnya lebih besar, maka harus dipaksakan untuk disisihkan setiap bulan, yaitu dalam bentuk tabungan untuk pengeluaran tahunan. Sebelumnya, perlu didaftar dulu apa saja kebutuhan tahunan ini (misalnya untuk asuransi, hari raya, pajak kendaraan (kalau ada), ulang tahun, kontrak rumah, dan lain-lain) baru dibagi 12. Ketika pembayaran-pembayaran tersebut jatuh tempo, maka di tabungan sudah ada dana untuk menutupnya. Keuangan keluarga juga tidak terlalu terganggu ketika ada pengeluaran yang cukup besar yang memang harus dikeluarkan.

Begitu selanjutnya, untuk kebutuhan jangka pendek, menengah dan jangka panjang seperti untuk uang muka rumah/kendaraan, pendidikan lanjutan, pensiun, perlu disisihkan dari sekarang.

Lha, sekarang bagaimana kalau tidak ada yang bisa disisihkan? Berdasarkan apa yang pernah saya baca juga, maka kita memang perlu mencari penghasilan tambahan. Entah lewat pekerjaan sampingan, atau istri juga bekerja.

Itu baru sebagian dari masalah pengelolaan keuangan. Masih banyak hal lain sesungguhnya, seperti penciptaan asset, pengelolaan asset, pengelolaan kewajiban, dan lainnya. Terus terang, referensi saya tentang pengelolaan keuangan yang baik sangat terbatas. Barangkali, suatu ketika nanti, cakrawala saya sudah lebih luas lagi. Barangkali, nanti saya bisa melihat pengelolaan keuangan ini dari sudut pandang yang lebih lengkap, dengan trik menyiasati masalah yang lebih baik.

Ini semua berangkat dari keprihatinan saya terhadap masalah keuangan yang banyak saya dengar. Tingginya angka kriminalitas juga sangat terkait dengan kondisi keuangan penduduk. Mudah-mudahan peningkatan kemampuan mengelola keuangan dapat membantu memperbaiki kondisi keuangan penduduk, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.

Tulisan ini dibuat pada 26 April 2005; baru di-edit dan di-publish sekarang

0 Comments:

Post a Comment

<< Home