Yang Melintas

Tuesday, August 16, 2005

Krawang-Bekasi


Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi


Menjelang ulang tahun kemerdekaan RI yang ke-60, saya teringat pada puisi Krawang-Bekasi dari Charil Anwar ini. Puisi ini dikutip dari "Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus" terbitan PT. Dian Rakyat.

Dirgahayu RI ke-60! Jayalah Indonesia kita!

Tuesday, August 09, 2005

Tidak Jadi Mogok & Rencana Mogok Baru

Berita yang terlambat: Serikat Pekerja Kereta Api menyatakan tidak jadi mogok nasional karena Pemerintah sudah menjamin kesejahteraan mereka akan minimal sama dengan PNS. Syukurlah. Berita ini melegakan juga bagi pengguna kereta api.

Tapi ada ancaman mogok lain: Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia yang beranggotakan para pramugari dan pramugara mengancam mogok kerja tanggal 12, 13, 14 Agustus 2005 bila tuntutan mereka, antara lain soal diskriminasi sistem penggajian awak kabin dengan pegawai unit lain dalam perusahaan tidak diselesaikan. Mudah-mudahan masalah ini bisa segera terselesaikan juga dan awak kabin Garuda tidak jadi mogok. .. (Ada kepentingan pribadi di sini. Adik saya, Ita dan keluarganya, berencana akan pergi tanggal 13 Agustus 2005 nanti, naik Garuda pula.. Jadi kami sekeluarga tentu saja berharap mogok ini tidak terjadi.)

Tuesday, August 02, 2005

Kereta Api

karcisKA
Kemarin di milist ada yang mem-forward pemberitahuan rencana mogok nasional Serikat Pekerja Kereta Api tanggal 8 sd. 10 Agustus 2005 yang akan datang. Langsung teringat mbak Juni, ex-tetangga (sekarang sudah pindah ke Depok), yang dulu seperjuangan menempuh rute Kuricang-Kuningan, entah pakai kendaraan sendiri, entah naik KRL AC Sudirman Ekspres. Ternyata mbak Juni sudah dengar informasi itu dan sudah siap dengan alternatif transport ke tempat kerja (mbak Juni masih ngantor di kawasan Kuningan, sedangkan saya sudah di rumah saja). Langsung juga teringat pengalaman berkereta-api minggu yang lalu ke Depok.

Sebenarnya saya ingin menuliskan pengalaman berkereta-api ini di blog satunya Writing From My Desk, tetapi karena di sini saya sudah pernah menulis tentang kereta api, jadi ya sudah nulis di sini saja. Lagipula, kalau di sini boleh nulis dalam bahasa Indonesia (ini aturan yang dibuat sendiri..).

Jadi ceritanya, hari Rabu, 27 Juli 2005 yang lalu saya perlu ke Cimanggis, Depok. Pagi-pagi jam 6.30 (sebenarnya ini sudah mepet) sudah berangkat dari rumah, rencananya mau naik KRL AC Sudirman Ekspres dan turun di Tanah Abang untuk ganti kereta api yang ke Depok. Ternyata di loket tertempel pengumuman kereta Depok Ekspres AC berangkat jam 6:47 harga tiket Rp 13.000,00. Mau dong naik kereta AC ke Depok.... Langkah kanan benar. Begitu mau ke Depok, kok ya ada KRL AC ke sana. Hari itu Sudirman AC telat, jadi otomatis Depok Ekspres AC ini juga ikutan telat. Kereta baru berangkat jam 7. Rutenya sama dengan Sudirman AC, yaitu berhenti di stasiun-stasiun Tanah Abang, Sudirman (aka Dukuh Atas), Manggarai, tapi kereta api ini masih bablas ke Depok. Di Depok, kereta baru berhenti di stasiun UI dan tidak tahu selanjutnya berhenti di stasiun mana lagi. Soalnya saya turun di stasiun UI jam 8. Depok Ekspres AC menggunakan gerbong ex-Jepang. Masih nyaman dan dingin sih. (Pancen Jepang sugih tenan, barang isih apik ngono kok wis ora di-nggo). Singkat kata perjalanan berangkat ini lancar, nyaman, terjangkau, dan aman (kira-kira beginilah kriteria transportasi yang baik).

Pulangnya.. nah ini dia yang seru.. (dilanjutkan besok ya.. Endra sudah selesai mandi dan kita mau makan dulu..)

Rabu, 3 Agustus 2005
Pulangnya, di stasiun UI, saya mau beli karcis ke arah Serpong yang berhenti di Pondok Ranji, atau paling tidak ke Tanah Abang lah. Ternyata sudah tidak ada kereta api lagi ke sana; kereta terakhir ke sana sudah jam 12 lewat tadi. Ya sudah, kalau begitu ke Manggarai saja. Kebetulan di stasiun sudah ada keretanya dan siap berangkat. Kereta itu memang hanya sampai Manggarai sebagai pemberhentian terakhir. "Ibu nunggu pengumuman saja di Manggarai; mungkin kereta ini ke Tanah Abang", kata bapak penjaga loket karcis. Jadilah saya naik kereta Kelas Ekonomi Jurusan Jakarta dengan bekal karcis Rp 1.500,00. Sayangnya saya tidak memperhatikan apakah kereta ini KRD atau KRL (ga penting ya; yang penting sampai).

Kereta tidak terlalu penuh, meskipun ada yang berdiri (termasuk saya). Di setiap stasiun kereta berhenti, entah menaikkan atau menurunkan penumpang. Saya baru dapat duduk di stasiun Pasar Minggu kalau tidak salah.

Begitu naik, suasana kereta rasanya gloomy gitu lo (atau saya saja yang jadi gloomy? keretanya dan penumpang lain seh biasa-biasa saja...) Di dalam kereta agak gelap; penerangan hanya diperoleh dari jendela dan pintu kereta yang selalu terbuka. Karpet karet sudah mengelupas dengan sampah kulit jeruk dan lainnya di sana sini. Beda dengan KRL AC yang terang benderang dan relatif rapi.

Dan yang bikin "hidup" adalah lalu-lalangnya para pedagang asongan menjajakan dagangannya. Jenis barang yang ditawarkan beragam: buah-buahan (jeruk, kelengkeng, rujak), minuman, rokok, aksesoris perempuan, tissue/cotton bud/amplop, bantal, mainan anak-anak (antara lain miniatur bajaj), makanan (antara lain kerupuk kulit). Dari yang bawanya ringan sampai yang bawanya berat seperti yang jual buah atau minuman. Belum lagi pengamen dan peminta-minta. Di satu sisi rasanya ingin nangis melihat para pedagang itu yang ke sana kemari membawa-bawa barang dagangan yang berat. Atau melihat seorang ibu pengamen dengan anaknya berbekalkan karaoke-set menyanyi lagu dangdut (sambil membayangkan Ibu saya yang tidak perlu mengalami nasib yang demikian). Tetapi di pihak lain, saya kagum dengan semangat juang mereka. Dengan modal yang ada, termasuk kekuatan tubuh, mereka berikhtiar mencari nafkah. Ah, semoga saja anak-anak mereka dapat menghargai hasil kerja keras orangtuanya dan tidak menyia-nyiakan uang yang diperoleh. Semoga Allah senantiasa mencukupkan rizki mereka. Amiin.

Kereta berhenti di stasiun Manggarai. Segera terdengar pengumuman bahwa di sinilah pemberhentian terakhir kereta ini. Pupus harapan kereta ini akan terus ke Tanah Abang. Saya memutuskan turun--lha wong pengumumannya begitu, mosok tetap di kereta. Tapi pas mau turun.., alamak.. tidak ada tangga atau ancik-ancik untuk turun/naik. Untung ada bapak-bapak yang berbaik hati mengulurkan tangannya, "Loncat, Bu". 'makasih ya Pak..

Tadinya saya bermaksud menunggu di stasiun Manggarai saja untuk KRL AC Sudirman Ekspres yang akan berangkat jam 4 sore. Tapi kemudian ada pengumuman bahwa di jalur 5 sudah tersedia kereta jurusan Serpong. Lho itu kan kereta yang saya tumpangi barusan? Wah, naik ini saja daripada nunggu lebih lama di stasiun. Karcis yang tadi masih bisa dipakai gak ya? (tadi tidak ada pemeriksaan karcis). Setengah berlari saya ke loket untuk beli karcis Manggarai-Serpong, habis khawatir tertinggal. Harga karcis kelas ekonomi ke Serpong sama Rp 1.500,00 Kemudian, perjuangan lagi untuk naik kereta dengan minta tolong orang yang sudah berada di dalamnya. Untung bisa naik dan dapat duduk karena kereta masih kosong.

Sama seperti perjalanan ke Manggarai, perjalanan ke Pondok Ranji (stasiun tujuan saya) diwarnai pedagang asongan dan pengamen. Kereta semakin penuh karena di setiap stasiun selalu ada yang naik dan tampaknya tidak ada yang turun.

Kereta sampai di Pondok Ranji sekitar jam 4 sore. Untung peron di Pondok Ranji agak tinggi, jadi loncatan untuk turun dari kereta juga tidak terlalu tinggi. Sebelum naik ojek, saya mampir dulu beli combro stasiun Pondok Ranji yang ngetop itu (combro terenak di dunia, asli! jadi bantuin marketing ni combro deh..).

Begitulah, pengalaman berkereta api di wilayah Jabodetabek. Kondisi kereta mengenaskan (yang AC pakai gerbong bekas Jepang, yang ekonomi sudah bocel-bocel). Kereta tidak bersahabat dengan penyandang cacat dan orang tua (tangga sudah rusak, tidak ada ancik-ancik untuk naik/turun)--untungnya saya masih muda.. hehe.. Dan tidak terpadunya rute perjalanan antar kereta (jika ternyata kereta itu akan menuju Serpong, coba saya bisa membeli karcisnya di stasiun UI Depok. Penumpang tidak perlu berjuang turun/naik kereta hanya untuk membeli karcis lanjutan di Manggarai).

Kembali dikaitkan dengan rencana mogok nasional pekerja KA se Jawa-Bali selama 3 hari, dikhawatirkan akan mengganggu pendapatan PT. Kereta Api. Ya iyalah, karena kereta api--dengan segala kelemahannya-- masih menjadi andalan hampir seluruh penggunanya, khususnya pengguna kereta di wilayah Jabodetabek atau mungkin juga di wilayah metropolitan lainnya (Semarang, Surabaya dan sekitarnya). Mengenai kondisi pekerja KA, tampaknya gambarannya memang suram, mungkin malah lebih suram dari kondisi kereta kelas ekonomi tadi. Padahal tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka sangat besar dan berat. Bagaimana ya langkah untuk memperbaiki kondisi perkereta-apian di Indonesia termasuk juga kondisi pekerjanya?