Yang Melintas

Friday, July 21, 2006

Hari Tanpa TV

Kidia - Kritis!Media untuk Anak mengajak untuk melakukan aksi Hari Tanpa TV Matikan TV Selama Sehari, Minggu, 23 Juli 2006 sebagai ungkapan keprihatinan terhadap isi tayangan TV yang sangat komersil dan mengabaikan kepentingan umum. Acara-acara TV nasional memang ada (banyak?) yang memprihatinkan, bahkan menurut Kidia pada tahun 2004 yang aman hanya sekitar 15% saja. Dan malangnya tayangan yang "hati-hati" dan "tidak aman" tersebut diperkirakan ditonton juga oleh anak-anak mengingat jam menonton TV anak Indonesia yang tinggi yaitu sekitar 30-35 jam (data tahun 2002), lebih tinggi daripada jam belajar di SD. (Sumber: Berita di http://www.kidia.org)

Akan efektifkah aksi Hari Tanpa TV ini? Akankah stasiun penyelenggara siaran TV mengubah tayangan-tayangannya menjadi lebih aman dengan adanya aksi ini? Akankah Hari Tanpa TV ini diikuti oleh keluarga-keluarga yang "kurang beruntung" yang justru sangat bergantung kepada pesawat TV untuk mengisi waktu luang anak-anaknya?

Keluarga yang kurang beruntung, dengan rumah tanpa halaman untuk bermain, kedua orang-tua yang bekerja keras siang dan malam, keuangan keluarga yang terbatas untuk mendanai anak mengikuti kegiatan yang sesuai minatnya atau membelikan anak buku dan majalah yang sesuai usianya, membuat TV menjadi saana hiburan yang utama. Sedangkan keluarga yang lebih beruntung, yang bisa menyediakan anaknya beragam aktivitas, yang memperoleh lebih banyak informasi, tersentuh oleh internet, bisa memberikan alternatif pengganti TV. Mungkin keluarga yang beruntung ini malah kadang-kadang sudah mempraktekkan Hari Tanpa TV?

Saya lebih mendukung Kampanye TV Sehat, yang perlu juga dikampanyekan ke anak-anak itu sendiri sehingga mereka memiliki kesadaran untuk tidak menonton TV di luar jadwal yang ditentukan. Jika kampanye ini ingin berhasil, di lingkungan perumahan perlu disediakan lahan bermain yang aman untuk anak-anak (Hmmm.. adakah ini di permukiman padat?)

Kebetulan saya memang bukan pecandu TV, bahkan waktu masih SD dulu pun. Jangan-jangan karena tayangan TV jaman tahun 1970-an dulu yang masih hitam-putih sehingga membuat tayangan TV kurang menarik? Hanya ingat samar-samar tuh acara TV jaman SD, SMP, dan SMA dulu. Sudah 26 - 38 tahun yang lalu sih. Sedangkan ketika kuliah, samar-samar ingat menonton film seri "Taxi", "Mork and Mindy", "Oshin", "Fraggle Rock", hmm.. apalagi ya?

Kini, saya masih jarang menonton TV. Dan biasanya hari Minggu itu, kami (saya dan suami) akan menonton seri "Detektif Conan" dan "The Oprah Winfrey Show". Rasanya koq tidak rela untuk melewatkan acara ini ya?

Monday, July 10, 2006

Anggaran Pendapatan dan Belanja Rumah Tangga

Sebagai Chief Operational Officer atau COO, seorang Ibu Rumah Tangga pasti mengetahui bahwa kegiatan operasional rumah tangga memerlukan biaya. Berapakah biaya minimum per bulan untuk 1 unit rumah tangga? Perhitungan ini menggunakan asumsi 1 unit rumah tangga terdiri dari 2 orang (suami-istri) yang tinggal di wilayah perkotaan Botabek. (Lho, itu kan kami?) Coba kita hitung:
- makan Rp 400.000,00
- transport Rp 600.000,00
- utilitas (listrik, telepon, gas) Rp 350.000,00
Total Rp 1.350.000,00 per bulan. Kalau ditambah sewa rumah (asumsi Rp 150.000,00 per bulan) jadi membengkak Rp 1.500.000,00 per bulan.

Ini biaya kebutuhan hidup minimum versi saya; belum termasuk tabungan hari depan dan tabungan uang muka (rumah, kendaraan). Kebutuhan ini bertambah kalau jumlah anggota keluarga lebih besar, serta kebutuhan dasar lebih luas lagi (seperti internet, koran/majalah, buku, hiburan).

Bagaimana jika penghasilan tidak sampai Rp 1.500.000,00? Tentu saja: pusiiiiiiiiiinggggggg!!!!! Bagaimana mengatasinya? Pertama, semakin mengencangkan ikat pinggang untuk mengurangi pengeluaran, yang rasanya juga sudah sulit. Dan yang kedua adalah menambah penghasilan, yang sering kali lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan.

Sebagai Chief Financial Officer atau CFO, seorang Ibu Rumah Tangga diharapkan bisa mengelola keuangan keluarganya dengan baik. Artinya, jangan sampai defisit, malah perlu diusahakan supaya surplus. Biasanya kalau defisit, jalan keluar tercepat adalah dengan berhutang atau mengorek tabungan (itu pun kalau ada yang masih bisa dikorek).

Bagaimana mengelola keuangan secara baik? Terus terang, saya bukan jagonya. Tapi kalau melihat kenyataan di sekeliling saya, menurut pengamatan saya, kesulitan keuangan itu terjadi lebih karena tidak adanya perencanaan dan lemahnya pemanfaatan keuangan keluarga. Ini menurut saya lho.

Agar mempunyai perencanaan keuangan dan memperbaiki pemanfaatannya, setiap rumah tangga sebaiknya menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Rumah Tangga (APBRT). APBRT memberi gambaran besar pendapatan dan pengeluaran dalam sebulan. Anggaran belanja tidak boleh melebihi besar pendapatan. Kalau tidak, jadinya besar pasak daripada tiang. Rumah akan miring dan tidak kokoh, dan rumah tangga akan merugi. Jika pengeluaran untuk suatu item sudah mendekati besar anggarannya, maka harus hati-hati dan semakin menahan pengeluaran. Dengan menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Rumah Tangga bersama-sama, suami-istri dapat realistis dan transparan menilai kemampuan keuangan, dan bersama-sama berusaha mengatasi masalah (keuangan) jika ada.

Sebelum sepasang calon pengantin hendak menikah, biasanya ada semacam 'kursus pranikah' di KUA (untuk yang beragama Islam). Alangkah baiknya, jika 'kursus pranikah' ini selain diisi dengan nasihat perkawinan juga diisi dengan pengetahuan praktis mengenai pengelolaan keuangan rumah tangga sebagai bekal bagi calon pasangan suami-istri dalam membina rumah tangga.